PERTANYAAN
Tolong terangkan tentag Sejarah Ulumul Qur'an
JAWABAN
Tolong terangkan tentag Sejarah Ulumul Qur'an
JAWABAN
A.
Pengertian Sejarah
Sejarah secara etimologi
dapat ditelusuri dari asal kata sejarah yang sering dikatakan berasal dari Arab
syajarah, artinya “pohon”. Untuk
menyebut sejarah dalam ilmu pengetahuan sebetulnya berasal dari bahasa Yunani
(istoria) yang berarti pengetahuan
tentang gejala-gejala alam, khususnya manusia yang bersifat kronologis. Makna
sejarah bisa mengacu kepada dua konsep yaitu : Pertama, sejarah memberikan
pemahaman akan arti objektif tentang masa lampau, dan hendaknya dipahami sebagai
aktualitas atau peristiwa itu sendiri. Kedua, sejarah menunjukkan
maknanya yang subjektif, sebab masa lampau itu telah menjadi sebuah kisah atau
cerita tentang suatu hal yang di dalam proses pengkisahan itu terdapat kesan
yang dirasakan oleh sejarahwan berdasarkan pengalaman dan lingkungan
pergaulannya.
B.
Pengertian Qur’an
Ulumul
Qur’an adalah
susunan idhafah
yang terdiri
dari kata Ulum
dan kata Al-
Qur’an. Hal ini menuntut kita agar mengetahui dua kata di atas masing-masing,
baik dari segi bahasa (leksikal) maupun dari segi istilah (gramatikal), kemudian
perlu dijelaskan pengretian yang dimaksud dengan rangkaian kata-kata yang
tesusun secara idhafi.
Al-Ulum
Al-ulum merupakan bentuk
jamak dari Al-ilm (ilmu), yang mempunyai arti lawan dari al-jahl (bodoh).
Al-‘ilm semakna dengan kata al-fahm dan kata al-ma’rifah. Makna yang dikehendaki
disini adalah “pengetahuan terhadap sesuatu dengan sebenar-benarnya atau dengan
dilandasi keyakinan, yakni adanya an-Nur yang datangnya dari Allah untuk
menyinari hati sanubari.”1
Kemudian kata ilmu secara
mutlak diartikan mempunyai fungsi yang membahas suatu permasalahan dan
pokok-pokoknya yang berkaitan dengan satu bidang tertentu, seperti ilmu nahwu,
ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan sebagainya.
Ulum dari jamak dari
beberapa ilmu yang saling berkaitan antara lain ilmu bahasa arab (meliputi ilmu
nahwu, saraf, bayan, badi’, balaghah, ‘arudh, dan sebagainya,- ed), ilmu-ilmu
eksak (meliputi zoology, biologi, teknik, matemtika, kimia, dan sebagainya) dan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dan membutuhkan eksperimen.
Al-Qur’an
Pada saat Allah SWT
menciptakan hamba-hambanya, Dia memberikan pertolongan dan bimbingan ke jalan
yang lurus dan berpegang teguh ke jalan yang benar. Dan dalam jiwa hamba-hamba
Nya tertanam fitrah yang berfungsi sebagai pembimbing yang menunjukkan ke jalan
yang selalu benar.
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereke dan Allah mengambil
kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab: “betul (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap kesaksian
ini.” (Q.S Al-A’raf:172).
Dan Allah mengutus
rasul-rasul-Nya kepada mereka, yang berfungsi untuk meluruskan keyakinan,
membimbing mereka kepada hal-hal yang baik, baik yang berkaitan dengan kehidupan
dunia maupun akhirat. Secara Etimologi ada terdapat perbedaan pendapat dari
sebagian para ulama tenteng lafal Al-Qur’an, tetapi setelah dilakukan kajian
mereka sepakat bahwa lafal Al-Qur’an adalah ism (isim/ kata benda), bukan
fi’il (fi’il
/ kata kerja)
atau harf
(huruf). Isim
yang dimaksud dalam[1] bahasa Arab sama dengan keberadaan isim-isim yang lain,
kadang berupa isim jamid atau disebut isim musytaq. Sebagian ulama juga ada yang
berpendapat, bahwa Al-Qur’an tersebut adalah ismu jamid ghairu mahmuz, yaitu
sebuah isim yang bersangkutan dengan nama yang khusus diberikan kepada Taurat
dan Injil. Pendapat ini diwakili oleh Ibnu Katsir dari mazhab Syafi’i. Sebagian
ulama lain berpendapat, bahwa lafal Al-Qur’an adalah ismu musytaq, namun mereka
masih terbagi ke dalam dua golongan:
1.Golongan pertama diwakili,
antara lain oleh Al-Asy’ari (Zarkasyi,1, 1400:278). Yang berpendapat kata
Al-Qur’an diambil dari kalimat “Qaranat
asy-syai’u bis-sya’i idza dhammamatuh ilaihi.” Ada juga berpendapat,
diambil dari kalimat “Qarana baina al-ba’irain, idza jama’a bainahuma”. Dari
kalimat terakhir ini muncul sebutan Qiran terhadap pengumpulan pelaksanaan
ibadah haji dan umrah dengan hanya satu ihram.
2.Golongan kedua diwakili,
antara lain oleh al-Farra (Suyuthi,1,1343:87). Berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an
musytaq dari kata qara’un, jamak dari
kata
qarinah,
karena ayat-ayat al-Qur’an (lafalnya) banyak yang sama antara yang satu dengan
yang lain.
3.F.
Sejarah Al-Qur’an
4.1. Masa
Rasulullah
Dalam sejarah kehidupan
Rasulullah SAW. Kita temui pribadi yang seluruh kehidupannya menyerupai lembaran
buku terbuka dari kulit ke kulit, dari saat lahir yang yatim hingga masa
kanak-kanak, masa remaja, masa kerasulan dan saat-saat menjadi pengusaha seluruh
Arabia, hingga akhrinya ke saat wafatnya. Beliau dicatat sebagai seorang yang
tidak mampu membaca tulisan, seorang yang
ummi. Karena
itu, ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah SAW. Perintah membaca ini
turun pada saat ia sedang dalam perenungannya di Gua Hira dekat Jabal Nur. Allah
Maha Pengasih memanggilnya, dan Allah mengutus malaikat Jibril untuk
menyampaikan wahyu kepada Rasulullah S.A.W. “ Baca! Atas nama Tuhan Yang
Mencipatkan segalanya; Mencipatakan manusia dari segumpal darah; Baca! Tuhanmu
Maha Mukya; Yang telah mengajar menggunakan pena; mengajar manusia segala yang
belum diketahui”. (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Kejadian yang baru dialami beliau
tersebut diceritakan kepada isteri beliau yaitu Siti Khadijah. Dan juga beliau
membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalnya kepada Siti Khadijah.
Ketika Allah SWT.
memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW agar melaksanakan secara terang-terangan
terhadap apa yang diperintahkan, agar mempublikasikan dakwah Islam, maka Nabi
melaksanakan perintah tersebut. Dalam hal ini beliau tidak sendirian dalam
menyebarkan agama Islam, beliau juga dapat dukungan dari kakek Abu Mutholib,
Zaid bin Tsabit, Abu Bakar Ashidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin
Abu Tholib, dan beberapa sahabat lainnya. Dengan merekalah perjuangan Nabi
Muhammad SAW dalam mengajak umat manusia untuk masuk Islam, yakni menerima Islam
sebagai agamanya dan juga menerima Al-Qur’an. mereka (yang mendapat hidayah
dengan memeluk Islam) membacanya dengan benar, dan mereka selalu berkumpul
dirumah Arqam bin Abi al-Arqam. untuk menghafal al-Qur’an dan mempelajari
ayat-ayat secara detail. mereka adalah orang-orang Arab asli. Hal inilah yang
memudahkan mereka memahami al-Qur’an, karena bahasa al-Qur’an merupakan bahasa
yang sudah menjadi satu jiwa mereka. Jika[2] mereka menemukan kesulitan makna
yang trekandung dalam al-Qur’an ataupun ada yang terasa kurang jelas tujuannya,
mereka bias saling bertanya. Hal ini disebabkan, diantara mereka ada yang lebih
tahu dari yang lain dan kadar pengetahuannya berbeda. Apabila belum mendapatkan
jawaban yang memuaskan, mereka langsung bertanya kepada Nabi, dan beliau
memberikan penjelasan secara detail.
Sejak agama Islam mulai di
dakawahkan oleh Nabi Muhammad SAW bisa dikatakan mulai saat itu juga Ulum
al-Qur’an telah tumbuh. Hal ini dikarenakan adanya penghafal, penyalinan, dan
penafsiran, yang kesemuanya termasuk ilmu-ilmu al-Qur’an yang sangat penting.
Akan tetapi istilah disiplin ilmu Ulum al-Qur’an belum dikenal pada masa
ini.
1.2. Masa
Sahabat
Pada masa sahabat
memperhatikan situasi dan kondisi pembelajaran al-Qur’an (Ulum al-Qur’an) sangat
baik secara lisan. Walaupun pada masa itu istilah kodifikasi masih belum
dikenal. Ada beberapa factor yang melatar belakangi para sahabat untuk tidak
melakukan kodifikasi pada saat itu, yaitu: pertama, karena para sahabat pada
umumnya adalah ummi (tidak bisa baca), bahkan kurang mengenal adanya bacaan dari
tulisan; kedua, keterbatasan alat-alat tulis di kalangan mereka; ketiga, apabila
ada masalah dalam memahami al-Qur’an mereka langsung menanyakan kepada Rasul;
keempat Rasulullah melarang para sahabat menulis selain al-Qur’an, lewat
sabdanya yang terkenal: “Jangan kamu menulis selain apa yang kusampaiakan
(Hadits). Barang siapa yang menulis sesuatu dariku selain al-Qur’an, hendaknya
menghapusnya”. (H.R. Muslim). Sebagian orang mempunyai asumsi bahwa Rasulullah
SAW melarang para sahabat menulis apapun selain al-Qur’an, disebabkan
kekhawatiran beliau akan bercampurnya al-Qur’an dengan yang bukan al-Qur’an.
Menurut pendapat saya, bahwa asumsi tersebut tidak benar dan terkesan kurang
menghargai kecendikiawan para sahabat. Padahal larangan tersebut menunjukkan
bahwa para sahabat adalah orang-orang yang mempunyai kecerdasan dalam bersikap,
dan mampu merasakan nikmatnya gaya penjelasan al-Qur’an. Mereka juga mempunyai
kemampuan menilai gaya bahasa dan wazan kalimatnya. Mereka juga
bisa mengetahui kemukjizatan al-Qur’an secara sempurna meskipun hanya melalui
proses mendengarkan, sementara sebagian yang lain menguasainya dengan hati.
Jadi, bagaimana baik dengan sesuatu yang bukan bersumber dari al- Qur’an,
semisal hadits-hadits Nabi, apalagi dengan ungkapan yang dibikin manusia. Alasan
peperangan itu dlatarbelakangi oleh Rasulullah SAW. yang menginginkan adanya
tanggnug jawab seluruh sahabat tanpa pandang bulu dalam menyampaikan dan
meneruskan dakwah beliau. Seaindainya upaya penulisan selain al-Qur’an diberi
izin, maka mereka yang tidak bisa membaca dan menulis akan mempunyai asumsi
bahwa tanggung jawab dalam menyampaikan dakwah hanya terbatas bagi para penulis
saja. Sebab para penulis bisa memelihara nash-nash hukum lewat tulisan-tulisan
mereka, dan tanggung jawab benar-benar dibebankan ke pundak mereka. Maka ketika
Rasulullah SAW. jadikan para sahabat menerima segala sesuatu dari Rasulullah
SAW. untk disampaikan kepada yang belum mendengarkan, dan tidak terdapat
perbedaan antara orang yang pandai menulis dengan yang buta huruf. Karena itu
da’wah Islam merupakan kewajiban seluruh para sahabat, dan hal ini sangat
penting mengingat bahwa dakwah yang baik adalah menyebarkannya dengan
melibatkan[3] seluruh sahabat, tidak terbatas pada mereka yang pandai menulis
saja. Jika anda mengatakan, “seandainya yang terjadi adalah seperti hipotesa di
atas, mengapa Rasulullah SAW. mengizinkan mereka menulis al-Qur’an?”. Saya
berpendapat, bahwa upaya menyampaikan al-Qur’an tidak sama dengan saya
menyampaikan sesuatu yang bukan al-Qur’an. sebagian dari para sahabat yang
ummi
tidak
mempunyai asumsi bahwa menyampaikan pesan moral al-Qur’an hanya diwajibkan
kepada para sahabat membacda al-Qur’an, baik dengan suara yang lirih maupun
dengan suarau yaring-di rumah-rumah mereka dan masjid. Mereka juga membacanya
saat sendirian maupun bersama-sama bahkan dalam shalat. Oleh karena itu, bahwa
menyampaikan pesan moral al-Qur’an mempunyai berbagai media yang tidak dimiliki
oleh selain al-Qur’an. juga tidak terbatas pad para sahabat yang menulis saja,
sebab semua para sahabat senantiasa membaca al-Qur’an malam dan siang, maka
tidak mungkin mereka yang mungkin mereka yang ummi mewakilkan kepada yang
mampu membacda dan menulis dalam menyampaikan da’wah islam. Oleh karena itu,
para sahabat mempunyai kemampuan akan sebab-sebab dilarangnya upaya kondifikasi
ilmu-ilmu al-Qur’an sesuai dengan keyakinan dan kemampuan mereka terhadap
al-Qur’an. para sahabat dalam penguasaannya terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an sama
dengan kekuatan hafalan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an imam at-Thabari
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud : Jika para sahabat mempelajari ayat al-Qur’an,
mereka pasti mengetahui betul makna-maknanya dan mengamalkannya. dalam riwayat
lain Abu ‘Abdurrahman as-Salami berkata: orang-orang yang selalu membacakan
hadits kepada kami, mengabarkan bahwa mereka selalu meminta Nabi
untuk membaca al-Qur’an.
Apabila mempelajari ayat dari al-Qur’an, mereka tidak akan menyikapinya secara
berbeda (menyalahinya), sebelum mereka mengetahui amalan yang terdapat pada
bacaaan tersebut, sehingga kami mempelajari sekaligus mengamalkannya al-Qur’an
(Thabari, I, 1328:80). Abdullah berkata: “Demi Allah tidak ada Tuhan selain Dia,
sesungguhnya setiap surat Al-Qur’an yang turun, pasti aku mengetahui dimana
turunnya. Setiap ayat Al-Qur’an yang turun pasti aku mengetahui tentang hal apa
yang ia turunkan. seandianya aku mengetahui ada seseorang yang pengetahuannya
tentang Al-Qur’an melebihi pengetahuanku, sementara untuk menemuinya harus
mengendarai unta, maka aku pastilah kesana untuk menemuinya” (Bukhari,VI, 1979:
102). Oleh karena larangan tersebut, para sahabat mempunyai kemampuan yang luar
biasa didalam mengahafalkan Al-Qur’an dan menguasai ilmu-ilmu Al-Qur’an, bahkan
bisa dikatakan seimbang penguasaannya. Sebagaimana pendapat Al-tabari, “Jika
para sahabat mempelajari sepuluh ayat Al-Qur’an mereka pasti mengetahui betul
maknanya dan mengamalkannya” (Abdurrahman Rumi, 1996 : 56). Kondisi ini
berlangsung selama kepemimpinjan Nabi, Abu Bakar dan Umar. Pada kepemimpinan
Utsman, karena wilayah kekuasaan Islam telah tersebar luas di beberapa negeri
dengan dialek, adat dan budaya yang berbeda. mak untuk menjaga kemurnian
al-Qur’an, tidak bisa hanya dengan hafalan saja. oleh karena itu, khalifah
Utsman mempelopori pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, yang kemudian terkenal
dengan mushaf
Utsamani.
Setelah dikumpulkan dalam satu mushaf, maka khalifah Utsman juga
memerintahkan untuk membuat salianan beberapa naskah lagi yang dikirimkan ke
semua Negara-negara Islam.
Sedangkan mushaf-mushaf
selain
mushaf
Utsmani diperintahkan untuk
dibakar. Dengan Usahanya itu, beliau dianggap sebagai peletak dasar Ilmu Rasm
Al-Qur’an atau Ilmu Rasm al-Utsmani. (Abdul Djalal, 1998:28-29) pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, usaha untuk menjaga eksistensi Al-Qur’an ini
dilanjutkan. Beliau mempunyai perhatian yang besar terhadap orang-orang asing
yang suka menodai kemurnian bahasa Arab. beliau khawatir akan terjadinya
kerusakan dalam bahasa Arab itu. untuk itu beliau memerintahkan sahabat Aswad
al-Dawli untuk membuat sebagian kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian bahasa
Arab sebagai bahasa Al-Qur’an. Dengan usahanya ini, khlifah Ali dianggap sebagai
peletak dasar Ilmu Nahwu atau Ilmu I’rab Al-Qur’an. (Abdul Djalal, 1998 :
28-29).[4]
1.3. Masa
Tabi’in
Ketika wilyah islam telah
tersebar luas, para sahabat juga telah tersebar diberbagai penjuru negeri yang
telah berada dalam wilayah kekuasaan islam. pada massa ini para sahabat
mengajarkan al-Qur’an lengkap dengan bacaan, isi/penafsiran dan ilmu-ilmu yan
terkandung di dalamnya. pada masa ini juga telah muncul adanya lembaga-lembaga
yang yang lazim disebut dengan Madrasyah
al-Tafsir dan
banyak sekali jumlahnya. Akan tetapi, hanya tiga yang terkenal yaitu : Madrasah
Ibn Abbas di Makkah, Madrasah Ubay bin ka’ab di Madinah dan Madrasah ‘Abd Allah
bin Mas’ud di Kufah. (Abdurrahman Rumi, 1996 : 58). Ketiga tokoh (yang namanya
dijadikan sebagai nama madrasah) tersebut, merupakan sahabat yang mempunyai
keahlian dalam bidan tafsir. Murid-murid dari ketiga tokoh yang terkenal itu,
termasuk dalam golongan tabi’in mereka adalah sa’id bin Jabir, Mujahid bin
Jabar, Ikrimah, Tha’wus,
dan Atha’ bin Abu Rabah
(murid Ibnu Abbas), Zaid bin Aslam, Abu al-aliyah, Muhammad bin Ka’ab dan
sebagainya. Pada tabi’in tersebut, merupakan tokoh-tokoh yang meletakkan
dasar-dasar ilmu tafsir seperti ; Ilmu Gharib, Al-Qur’an, Ilmu Asbab Al-Nuzul,
Nasikh Mansukh, Ilmu Makkiyah dan Madaniyah dan lain-lain. Sistem dan metodologi
penafsiran yang dikaji para tabi’in pada masa ini, tidak hanyaterbatasa pada
penafsiran dengan pengertiannya yang secara khusus, tetapi system dan metodologi
nya telah meliputi berebagai segi keilmuan dalam penafsiran seperti Ilmu Gharib
Al-Qur’an, Ilmu Asbab Al-Nuzul, dan lain sebagainya. Proses penyampaian ilmu
pada masa ini seperti Al-Qur’an melalui periwayatan dan belum
dikodifikasikan.
4. Masa
Kodifikasi
Setelah dirintis
dasar-dasar ‘ulum Al-Qur’an, maa para mufassir mulai melakukan
kodifikasi/penulisan ‘ulum Al-Qur’an. Tetapi sebelum cita-cita ini dilakukan,
terlebih dahulu mereka melakukan pembukuan tafsir Al-Qur’an. sebab tafsir
Al-Qur’an yang alin. Orang-orang yang pertama melakukan ini adalah Yazid bin
Harun Al-Salami (w. 117H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w.160H), Waki’ bin al-Jarrah
(w.197H) dan lain-lain. Tafsir-tafsir yang mereka tulis berupa koleksi
pendapat-pendapat sahabat dan tabi’in yang kebanyakan belum dicetak, sehingga
tidak sampai pada generasi sekarang. Setelah itu muncul penafsir-penafsir yang
masyhur seperti Ibn Majah (w.273H), Ibnu Jarir Al-Qur’an-Thabari (w.310), Abu
Bakar bin Al-Qur’an-Mundzir An-Nisaburi (w.318 H), Ibn Abi hatim (w.327 H) dan
Ibn Hibban (w.369 H), Al-Hakim (w.369 H) dan lain-lain. Tafsir Al-Qur’an-Thabari
merupakan tafsir yang paling besar dengan memakai metode muqaran. Sebab beliau adalah orang
pertama yang melakukan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengemukakan
pendapat-pendapat para ulama’ dan membandingkan pendapat sebagian dengan
sebagian yang lain. kitab tafsir Al-Thabari itu adalah kitab Jami
Al-Bayan fi Tafsiir Al-Qur’an. setelah itu cabang-cabang
“ulum Al-Qur’an yang lain mulai bermunculan teruatama pada abad ketiga Hijriyah.
Pada abad inilah lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh dan ilmu
tentang ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah. Ulama semisal Ali Ibnul Madini 234 H,
guru imam al-Bukhari, adalah penulis kitab asbab al-nuzul, Abu Ubayd al-Qasim
bin Salam 224 H menulis kitab Ilmu Nasikh wa al-Manuskh. Kemudian Muhammad Ayyub
al-Dharis (294 H), menulis kitab ilmu Makki wa al-Madani, dan Muhammad Khalaf
ibn al-Mirzaban (309 H) yang menulis kitab al-haawii
fii ‘ulum al-Qur’an yang terdiri atas 27 juz.
Sedangkan pada abad ke-IV Hijriah ada lima ulama’ yang giat mengarang ‘uluum
al-Qur’an yang menyusun kitab-kitabnya yaitu : (a) Abu Bakar al-Sijistani 330 H,
menulis karya Ilmu Gahrib al-Qur’an, (b) Abu Bakar Bin Qasim al-Ambari 328 H
dengan kitabnya Aja’ib
Ulum al-Qur’an, (c) Abu Hasan al-asy’ari
324 H menulis kitab Mukhtazan
fi ‘ulum al-Qur’an, (d) Abu Muhammad bin Ali
al-Adfawi 388 H menulis kitab al-Istigha’
fi ‘ulum al-Qur’an 20 jilid. Kemudian pada VI
juga ada satu tokoh yang termashyur, yaitu: Abu al-Qasim Abd al-Rahman
al-Suhayli 581 H yang menulis kitab ilmu Mubbamat
al-Qur’an.
Selanjutnya pada abad VII H. Ada tokoh yang pertama yang menulis kitab ilmu
I’jaz
al-Qur’an,
yaitu Abd al-salam 660 H dan orang yang pertama kali ilmu Qira’at yaitu Alam
al-Din al-sakhawi 643 H, lalu diikuti oleh Abu Syamah Abd al-Rahman Ibn Ismail
al-Maqdisi 665 H, yang menulis kitab al-mursyid
Wajiz fi ma Yata’allaq bi al-Qur’an al-azhim. Demikian semangat para
mufassir, sehingga menimbulkan lahirnya ilmu-ilmu al-Qur’an yang baru, yang
membuat orang heran karena melihat buku-buku memenuhi gedung perpustakaan besar
di dunia setelah itu pada abad selanjutnya atau abad VIII H, juga muncul
pengarang-pengarang ‘ulum al-Qur’an, yaitu (a) Imam Ahmad Ibn Zubayr 708 H, yang
mengarang kitab al-Burhan
fi Tartib suwar al-Qur’an, (b) Imam Najm al-Din
al-Thufi, menulis kitab ilmu Jidal al-Qur’an;
(c) Ibn Qayyim
al-jawzirah 751H menulis kitab al-Tibyan
fi Aqsham al-Qur’an dan beberapa kitab lainnya
(Abdurrahman Rumi, 1996:32-33). Kecermerlangan Ulum al-Quran ini berlanjut pada
abad IX H. dengan munculnya pengarang-pengarang kenamaan yaitu: (a) Imam Jalal
al-Din al-Bulqini (W.824 H) yang menulis kitab Mawaqi’
al-ulum min mawaqi al-Nujum, yang berisi tentang 50
cabang Ulum al-Qur’an; Imam Muhammad bin Sualiman al-Kafiaji (879 H) yang
menulis kitab Ulum al-Qur’an; (b) Imam Muhammad al-Buqa’i(885 H) yang menulis
kitab Nuzhumat
al-Durar fi Tanasuh Ayat wa Suwar. (Abdurrahman Rumi,
1996:36).
Kemudian pada
Abad X kecermelangan Ulum al-Qur’an ini berakhir di pakar ulum al-Qur’an, yaitu:
Imam Jalal al-Din abd Rahman al-Suyuthi (991 H) yang sempat mengarang tiga buah
kitab, yaitu: Tanasuqud
Durar fi Tanasub al-Suwari,
al-Tabbir fi ulum al-Tafsir, yang membahas 102 cabang
ulum al-Qur’andan al-Itqam
fi ‘ulum al-Qur’an yang terdiri dari dua juz,
tetapi dibukukan menjadi satu jilid. Setelah abad X ini, kegiatan pembukuan ulum
al-Qur’an berlanjut sampai abad XI, yaitu: al-Banna (w. 923 H), menulis kitab
Ittihaf
Fudhala’I al- basyar fi Qira’at al-Arba’a Asyara; As-Syaikh Mar’i al-Karami
(w1033 H), menyusun kitab
Qala’id al-Marjan fi an-Nasikh wa al- Mansukh min al-Qur’an; Ahmad bin Muhammad
al-Maqqari (w. 1041 H), menyusun kitab I’rab
al-Qur’an.
Beberapa ulama yang penulis tidak sebutkan satu-satu, hingga abad XIV H. Pada
abad XIV H ini, banyak mufassir yang menulis kitab di sekitar al-Qur’an,
sejarahnya dan ilmu-ilmunya, yaitu: (a) Syaikh Thahir al-Jazari, menulis kitab
al-Tibyan
fi Ba’d Mabahit al-Muta’alliqat bi al-Qur’an; (b) Jamal al-Din
al-Qasimi (w.1322), menuli kitab al-Ta’wil; (c) Muhammad ‘Abd al- Azhim
al-Zarqani, menulis kitab Manahil
al-Irfan fi ulum al-Qur’an; (d) Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha, menulis kitab Tafsir
al-Qur’an al-Hakim yang terkenal Tafsir
al-Manar.
(Hasbi Ash-Shiddiqy, 10-11).
Demikan sekilas beberapa
ulama dan buah karangannya yang berkenaan dengan pembahasan ulumul Qur’an di
masa lampau, yang relatife cukup banyak jumlahnya. Ketika anda memperhatikan
kitab-kitab yang ditulis tersebut, anda akan menemukan kenyataan bahwa
masing-masing tulisan hanya mendapatkan satu ilmu saja dari berbagai ilmu-ilmu
al-Qur’an.
5.
Munculnya Istilah Ulumul-Qur’an
Seiring dengan kamjuan
perkembangan ‘ulum al-Qur’an . Tahap demi tahap ilmu-ilmu yang menjadi bagian
dari disiplin ilmu ini juga mengalami perkembangan,
seperti ilmu Tafsir, ilmu
rasm al-Qur’an, ilmu Qira’at ilmu Gharib al-Qur’an, dan seterusnya (Ramli Abdul
Wahid, 2002:22). Ilmu-ilmu ini kemudian membentuk kesatuan yang mempunyai
hubungan dengan al-Qur’an, baik dari segi keberadaan al-Qur’an maupun dari segi
pemahamannya. Karena itu ilmu-ilmu ini disenut dengan ilmu-ilmu al-Qur’an yang
dalam bahasa Arab disebut ‘ulum al-Qur’an (baca: ulumul Qur’an). Akan tetapi
pengertian ‘ulumul-Qur’an dalam konteks sebagai sebuah istilah, baru dikenal
pada periode-periode akhir, yaitu pada akhir abad ketiga atau menjelang awal
abad keeempat Hijri, ketika seorang ulama bernama Muhammad bin Khalaf bin
al-Muazban (w. 309 H) menyusun sebuah kitab berjudul Al-Hawi
fi Tafsir al-Qur’an (Nadim, t.t.:214; dan
Daudi,t.t.:141). Sedangkan sebagian ahli meyakini bahwa permulaan periode
dikenalnya istilah ‘ulumul –Qur’an adalah pada permulaan abad V Hijri, yaitu
ketika Ali bin Ibrahim al-Haufi (w.430 H) menulis sebuah kitab bertajuk
Al-Burhan
fi ‘Ulum al-Qur’an. Asumsi ini kurang valid,
sebab nama kitab yang dikarang al-Haufi adalah
Al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an (Zadah, t.t.:108; Humawi,
XII, t.t.:222, dan Khulaifah, I, t.t.: 241). Disamping itu, banyak bermunculan
kitab-kitab yang ditulis para ulama pada kurun sebelumnya, yang secara tersirat
menunjukkan adanya istilah Ulumul-Qur’an dalam konteks kodifikatif. hal ini
diperjelas oleh kitab yang disusun Ibnu al-Murazban dan ulama lain. [5]
6.
Kesimpulan
a) Nabi menerima wahyu dari
Allah berupa Al-Qur’an, lalu beliau dapat perintah dari Allah untuk menyampaikan
kepada umat manusia. Pada zaman ini belum ada kajian tentang ulum al-Qur’an,
pengikut beliau hanya menghafal dan kalau ada masalah langsung menanyakan pada
beliau.
b) Khulafa’ur Rasyidin,
setelah kejadian 70 pengahfal al-Qur’an tewas dalam peperangan. Adanya
kekhawatiran tentang hilangnya orang-orang pengahafal al-Qur’an, dan beberapa
sahabat mengusulkan disusun menjadi sebuah mushaf. setelah mengalami kodifikasi
dan juga adanya kekhawatiran pemahaman tentang al-Qur’an.
c) Pada zaman Tabi’in mulai
adanya kajian-kajian tentang al-Qur’an dan beberapa ilmu yang termasuk dalam
al-Qur’an, Tetapi belum begitu mengkajinya secara mendalam. Pada jaman tabi’in
kecil baru mengkaji secara mendalam pembagian tentang ilmu-ilmu yang ada
dalamnya.
d) Dalam perkembangannya
ilmu ini disebut ulumul Qur’an. Serta kajian detail dan ulama-ulama sudah banyak
membahas tentang ulumul Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
Siti Maryam dkk, Sejarah
Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta, 2002
Saifullah dkk, Ulumul
Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman
Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press;
Yogyakarta
Kamaluddin, Ulumul Qur’an,
Pt. Remaja Rosdakarya; Bandung, 1992
1 Siti Maryam dkk, Sejarah
Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta, 2002
Dr.Fadh bin Abdurrahman
Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi
Press
[1] Saifullah dkk, Ulumul
Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman
Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press;
Yogyakarta
[2] [2] Saifullah dkk,
Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman
Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press;
Yogyakarta Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Pt. Remaja Rosdakarya; Bandung,
1992
[3] Saifullah dkk, Ulumul
Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman
Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press;
Yogyakarta
[4] Saifullah dkk, Ulumul
Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman
Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press;
Yogyakarta
[5] [5] Saifullah dkk,
Ulumul Qur’an, Prodial Pratama Sejati (PPS) Press; Ponorogo,2004
Dr.Fadh bin Abdurrahman
Ar-Rumi, Ulumul Qur’an Studi Kompleksitas Al-Qur’an, Titian Ilahi Press;
Yogyakarta
[ Indrawan Cahyadi
].
Komentar
Posting Komentar