Hasil
Bahtsul Masail PWNU Jatim 1981 di PP. An Nur Tegalrejo Prambon
Nganjuk
Deskripsi
Masalah:
Transplantasi
kornea atau cangkok mata ialah mengganti selaput mata seseorang dengan selaput
mata orang lain, atau kalau mungkin dengan selaput mata binatang. Jadi yang
diganti hanya selaputnya saja bukan bola mata seluruhnya. Adapun untuk
mendapatkan kornea/selaput mata ialah dengan cara mengambil bola mata seluruhnya
dari orang yang sudah mati. Bola mata itu kemudian dirawat baik-baik dan
mempunyai kekuatan paling lama 72 jam (tiga hari tiga malam). Sangat tipis
sekali dapat dihasilkan cangkok kornea dari binatang.
Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya cangkok mata?
Jawaban:
Hukumnya
ada dua pendapat: pertama, Haram, walaupun mayat itu tidak terhormat
seperti mayitnya orang murtad. Demikian pula haram menyambung anggota manusia
dengan anggota manusia lain, dan selama bahaya buta itu tidak sampai melebihi
bahayanya merusak kehormatan mayit.
Kedua,
Boleh, dan disamakan dengan diperbolehkannya menambal dengan tulang manusia,
asalkan memenuhi 4 syarat:
a.
Karena
dibutuhkan
b.
Tidak
ditemukan selain dari anggota tubuh manusia
c.
Mata
yang diambil harus dari mayit muhaddaroddam (halal darahnya)
d.
Antara
yang diambil dan yang menerima harus ada persamaan agama
Dasar
Pengambilan Hukum:
1)
Ahkamu
al-Fuqaha Solusi Problematika Hukum Islam, 375
مَسْأَلَةٌ: مَا قَوْلُكُمْ فِى إِفْتَاءِ مُفْتِى دِيَارِ
الْمِصْرِيَّةِ بِجَوَازِ أَخْذِ حَدَاقَةِ الْمَيِّتِ لِوَصْلِهَا إِلَى عَيْنِ
اْلأَعْمَى. هَلْ هُوَ صَحِيْحٌ أَوْلاَ؟ قَرَّرَ الْمُؤْتَمَرُ بِأَنَّ ذَلِكَ
اْلإِفْتَاءَ غَيْرُ صَحِيْحٍ، بَلْ يَحْرُمُ أَخْذُ حَدَاقَةِ الْمَيِّتِ وَلَوْ
غَيْرَ مُحْتَرَمٍ كَمُرْتَدٍّ وَحَرْبِىٍّ. وَيَحْرُمُ وَصْلُهُ بِأَجْزَاءِ
اْلآدَمِىِّ ِلأَنَّ ضَرَرَ الْعَمَى لاَ يَزِيْدُ عَلَى مَفْسَدَةِ إنْتِهَاكِ
حُرُمَاتِ الْمَيِّتِ كَمَا فِى حَاشِيَةِ الرَّشِيْدِى عَلَى ابْنِ الْعِمَادِ.
صحيفة 26 وَعِبَارَتُهُ: أَمَّا اْلآدَمِىُّ فَوُجُوْدُهُ حِنَئِذٍ كَالْعَدَمِ
كَمَا قَالَ الْحَلَبِىُّ عَلَى الْمَنْهَجِ، وَلَوْ غَيْرَ مُحْتَرَمٍ كَمُرْتَدٍّ
وَحَرَبِىٍّ فَيَحْرُمُ الْوَصْلُ بِهِ وَيَجِبُ نَزْعُهُ. اِنْتَهَى. وَلِقَوْلِهِ
e: كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا (رواه أحمد فى المسند
وأبو داود وابن ماجه) وعن عائشة كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ عَظْمَ
الْحَىِّ فِى اْلإِثْمِ (رواه ابن ماجه عن أم سلمة) حديث حسن.
2)
Hasyiah
ar-Rasidi ‘Ala Ibni al-‘Imad, Hlm. 26
3)
Fathu
al-Jawad, Hlm. 26
وَبَقِىَ مَالَمْ يُوْجَدْ صَالِحٌ غَيْرُهُ فَيَحْتَمِلُ جَوَازُ
الْجَبْرِ بِعَظْمِ اْلآدَمِىِّ الْمَيِّتِ كَمَا يَجُوْزُ لِلْمُضْطَرِّ أَكْلُ
الْمَيِّتِ وَإِنْ لَمْ يَخْشَ إِلاَّ مُبِيْحَ التَّيَمُّمِ. وَجَزَمَ
الْمُدَابِغِىُّ بِالْجَوَازِ، حَيْثُ قَالَ: فَاِنْ لَمْ يَصْلُحْ إِلاَّ عَظْمَ
اْلآدَمِىِّ قُدِّمَ نَحْوُ الْحَرَبِىِّ كَالْمُرْتَدِّ ثُمَّ الذِّمِّى ثُمَّ
الْمُسْلِمِ.
"Dan masih ada, bila sudah tidak di jumapai yang baik boleh menambali
(cangkok) dengan tulang orang yang sudah mati. Seperti halnya boleh memakan
bangkai orang yang sudah mati meski tidak hawatir sampai batas diperbolehkannya
tayamum. Dan imam al-madabighi yakin dengan hukum boleh, dia menyatakan jika
tidak ada yang bagus (untuk menambal) kecuali tulang orang, maka dahulukanlah
orang kafir harbi, orang murtad, lalu kafir dzimy, kemudian orang
Islam".
4)
Al-Mahali/Qulyubi
wa ‘Amirah, Juz XVI, Hlm. 176 (Maktabah Syamilah)
وَلَهُ أَىْ لِلْمُضْطَرِّ أَكْلُ أَدَمِىٍّ مَيِّتٍ ِلأَنَّ حُرْمَةَ
الْحَىِّ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ
"Jika terpaksa dan yang ditemukan hanya bangkai orang mati, maka boleh
memakannya, karena kehormatan orang yang masih hidup masih dikuatkan dari pada
kehormatan orang yang sudah mati".
5)
Bujairami
‘Ala al-Iqna, Juz IV, Hlm. 272
وَاْلأَوْجَهُ كَمَا هُوَ ظَاهِرُ كَلاَمِهِمْ عَدَمُ النَّظَرِ
ِلأَفْضَلِيَّةِ الْمَيِّتِ مَعَ اتِّحَادِهِمَا إسْلاَمًا وَعِصْمَةً
"Menurut yang aujah, seperti penjelasan ahli fiqih tidak memandang pada
istemewanya seorang mayit jika sama-sama islam dan terjaga".
6)
Mughni
al-Muhtaj, Juz IV, Hlm. 307
(وَلَهُ) أَيْ الْمُضْطَرِّ (أَكْلُ آدَمِيٍّ مَيِّتٍ) إذَا لَمْ يَجِدْ
مَيْتَةً غَيْرَهُ كَمَا قَيَّدَاهُ فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ؛ ِلأَنَّ حُرْمَةَ
الْحَيِّ أَعْظَمُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ.
"Boleh bagi orang yang terpaksa makan bangkai orang ketika tidak di
temukan lainnya, seperti alasan dalam kitab syarah dan kitab raudloh, karena
kehormatan orang hidup lebih diutamakan dari pada orang mati".
7)
Al-Muhadzab,
Juz I, Hlm. 251
وَاِنِ اضْطَرَّ وَوَجَدَ آدَمِيًا مَيِّتًا جَازَ أَكْلُهُ ِلاَنَّ
حُرْمَةَ الْحَىِّ آكَدُ مِنْ حُرْمَةِ الْمَيِّتِ.
"Jika terpaksa dan yang di temukan hanya bangkai orang mati maka boleh
memakannya, karena kehormatan orang yang masih hidup lebih kuat dari pada orang
yang sudah mati".
8)
Al-Qulyubi,
Juz I, Hlm. 182
(وَلَوْ وَصَلَ عَظْمَهُ) ِلانْكِسَارِهِ وَاحْتِيَاجِهِ إلَى الْوَصْلِ
(بِنَجَسٍ) مِنْ الْعَظْمِ (لِفَقْدِ الطَّاهِرِ) الصَّالِحِ لِلْوَصْلِ
(فَمَعْذُورٌ) فِي ذَلِكَ
"Jika menyambung tulangnya karena pecah dan ia memerlukan sembungan
dengan tulang najis karena daftar orang-orang yang menyatakan dirinya rela di
ambil bola matanya sesudah mati untuk kepentingan manusia".
9)
Bujairimi
'Ala Fathi al-Wahab, Juz I, Hlm. 239
Komentar
Posting Komentar