JAWABAN
Kata ihdinaa (tunjukkanlah kami) dalam
ayat di atas merupakan bentuk kata perintah (fi’lu
al-amr) dari
kata hadâ-yahdii. Hadâ-yahdii sendiri
artinya adalah memberi petunjuk kepada hal-hal yang benar. Kata hidayah
merupakan bentuk fi’lu
al masdar dari
kata ini. Dalam “Tafsir Munir” karya Dr. Wahbah Az Zuhaily, hidayah ada lima
macam. Satu hidayah ke hidayah yang lain bersifat hierarkis, di mana hidayah
yang ada di bawahnya akan menyempurnakan hidayah yang ada di atasnya. Jadi
semakin ke bawah maka semakin tinggi nilainya. Adapun kelima hidayah tersebut
adalah sebagai berikut :
Pertama, Hidayah
Ilhami.
Hidayah ini adalah fitrah yang Allah SWT berikan kepada semua makhluk
ciptan-Nya. Contohnya, Allah SWT memberikan hidayah ilhami kepada lebah yang
suka hinggap di bunga untuk mengambil saripatinya, dapat membangun sarang yang
menurut para ahli adalah desain yang paling sempurna berdasarkan
fungsinya.
Seorang bayi yang lapar
diberi hidayah ilhami oleh Allah SWT untuk menangis dan merengek-rengek pada
ibunya agar diberi ASI. Siapakah yang mengajari lebah dan bayi tadi untuk
melakukan hal tersebut? Tentunya kita yang beriman kepada Allah SWT akan
menjawab: itulah kekuasaan Allah SWT yang telah memberikan hidayah ilhami kepada
makhluk-Nya. Semua makhluk yang diciptakan Allah SWT akan menerima hidayah ini.
Dalam bahasa kita, hidayah ilhami ini adalah insting, yang merupakan tingkat
inteligensi paling rendah.
Kedua, Hidayah
Hawasi.
Hidayah hawasi adalah hidayah yang membuat makhluk Allah SWT mampu merespon
suatu peristiwa dengan respon yang sesuai. Contohnya adalah, ketika manusia
mendapatkan kebahagiaan maka ia akan senang dan jika mendapatkan musibah maka ia
akan sedih. Dalam istilah kita, hidayah hawasi ini adalah kemampuan
inderawi.
Hidayah hawasi sangat
dipengaruhi oleh lingkungan. Maka respon yang ditimbulkan dari sebuah peristiwa
sangat tergantung dengan lingkungan kita. Jika lingkungan itu normal maka respon
kita akan normal. Misalnya, orang yang mendapatkan musibah akan sedih karena
lingkungannya mengajarkan untuk merespon peristiwa tersebut dengan bersedih. Di
lain tempat dan waktu mungkin saja respon ini berubah karena lingkungannya
merespon dengan hal yang berbeda. Maka untuk mendapatkan hidayah hawasi ini kita
harus membuat atau mengondisikan agar lingkungan kita normal alamiah.
Ketiga, Hidayah
Aqli (akal).
Hidayah akal adalah hidayah yang diberikan khusus pada manusia yang membuatnya
bisa berfikir untuk menemukan ilmu dan sekaligus merespon peristiwa dalam
kehidupannya dengan respon yang bermanfaat bagi dirinya. Hidayah akal akan bisa
kita miliki manakala kita selalu mengambil pelajaran dari segala sesuatu, segala
peristiwa, dan seluruh pengalaman hidup kita ataupun orang lain. Allah SWT
berfirman:
“Dia-lah yang mengeluarkan
orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat
pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari
(siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan bagi mereka (hukuman) dari arah yang
tidak mereka sangka-sangka. Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka;
mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai
orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. Al-Hasyr [59]: 2).
Yang dimaksud dengan ahli
Kitab dalam ayat ini ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir pada masa Nabi
Muhammad SAW di Madinah. Merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir
keluar dari Madinah karena mereka mengingkari Piagam Madinah.
Ayat ini memerintahkan kita
untuk senantiasa mengambil hikmah dan ‘ibroh dari segala kejadian dalam
kehidupan ini, dengan harapan kita tidak terjebak pada permasalahan yang sama.
Hidayah akal ini akan bekerja dengan ilmu yang diperoleh, dari proses
pembelajaran kehidupan yang telah dilakukan, yang kemudian digunakan untuk
memilih respon yang terbaik bagi diri di masa mendatang. Semakin banyak kita
mengambil pelajaran maka semakin tinggi kualitas hidayah akal kita.
Namun Hidayah akal ini
mempunyai keterbatasan dalam menyeragamkan respon terhadap sebuah kejadian untuk
seluruh manusia. Ada pepatah “lain ladang, lain pula belalangnya. Lain kepala,
lain pula isinya.” Mungkin respon tertentu baik menurut kita, akan tetapi belum
tentu baik menurut orang lain. Maka diperlukan sebuah standar untuk
menyeragamkan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang hak dan mana yang
batil. Jawaban untuk hal ini ada pada tingkatan hidayah selanjutnya.
Keempat, Hidayah
Dien (agama).
Hidayah agama adalah sebuah panduan ilahiyah yang membuat manusia mampu
membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang baik dan yang buruk.
Hidayah agama ini merupakan standard
operating procedure (SOP) untuk menjalani
kehidupan. Tentunya yang membuatnya adalah yang Maha segala-galanya, yang
menciptakan manusia itu sendiri, yaitu Allah SWT. Karena yang Allah SWT
tentukan, pastilah itu yang terbaik. Allah SWT berfirman :
“Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216).
Maka apa saja yang
ditentukan oleh agama, pastilah itu yang terbaik untuk kita. Hidayah agama ini
bisa kita peroleh manakala kita selalu belajar dan memperdalan agama Islam
ini.
Seperti Allah SWT tegaskan
dalam Al Qur’an:
”Tidak wajar bagi seseorang
manusia yang Allah berikan kepadanya al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia
berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan
penyembah Allah.” Akan tetapi (Dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang
Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya.” (QS. Ali Imran : 79).
Semua orang mampu
mempelajari agama ini (Al Qur’an dan As Sunnah), akan tetapi tidak semua orang
berkemauan untuk mengamalkan agama ini. Kemauan untuk mengamalkan agama akan
berbanding lurus dengan sejauh mana kita bisa manggapai hidayah
taufiq.
Kelima, Hidayah
Taufiq.
Hidayah taufiq adalah adalah hidayah yang membuat manusia hanya akan menjadikan
agama sebagai panduan hidup dalam menjalani kehidupannya. Hidayah taufiq ibarat
benih yang Allah SWT semaikan di hati yang tidak hanya bersih dari segala hama
penyakit, tetapi juga subur dengan tetesan robbani. Bersih dan suburnya hati
akan terlihat dari pohon-pohon kebaikan dan amal yang tumbuh di atasnya. Hanya
kesungguhan yang akan membuat kita pantas menerima hidayah taufiq dari Allah
SWT. Firman Allah SWT :
”Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut : 69).
Maka tidak ada jalan lain
agar kita mendapatkan Hidayah Taufiq Allah SWT, kecuali dengan jalan
bersungguh-sungguh dan berjihad untuk menjalankan dan mengamalkan agama yang
indah ini.
Penutup
Hidayah Allah SWT
memerlukan perjuangan untuk mendapatkannya. Semakin besar perjuangan dan
kesungguhan kita, maka insya Allah kita akan semakin mudah mendapatkannya,
karena semuanya tergantung kepada usaha kita. Hidayah Allah SWT ibarat sinar
matahari yang menyinari seluruh alam ini, dan kita adalah penerima sinar
tersebut. Jika kita membuka diri dengan hati yang bersih, maka kita akan mudah
untuk mendapatkan sinar hidayah Allah SWT. Tapi jika kita menutupi hati dan diri
kita dengan kotoran dan hama penyakit hati maka kita akan sulit untuk
mendapatkan sinar hidayah-Nya. [ Hakam elChudrie ].
Komentar
Posting Komentar