PERTANYAAN
:
Ahmad
Rifki Mubarok
Assalaamu 'alaikum. Tolong
di-share tafsir serangkaian kata "ISTAWA 'ALAL 'ARSYI" surah Toha.
JAWABAN
:
Mbah
Jenggot II
Wa`alaikum salam
.بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Allah berfirman:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
“Dia (Allah) tidak
menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi),
dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11).
Penjelasan : Ayat ini adalah ayat
yang paling jelas dalam al Qur'an yang berbicara tentang tanzih (mensucikan
Allah dari menyerupai makhluk), at-Tanzih al Kulliy; pensucian yang total dari
menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami
bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari berada pada satu arah atau banyak
arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas arsy, di bawah arsy,
sebelah kanan atau sebelah kiri arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat
benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan
yang lain dan sifat-sifat benda yang lain. Al-Imam Abu Hanifah berkata :
أنـّى
يُشْبِهُ الْخَالِقُ مَخْلُوْقَـهُ
"Mustahil Allah menyerupai
makhluk-Nya".
Dengan demikian Allah tidak
menyerupai makhluk-Nya, dari satu segi maupun semua segi. Al-Imam Malik berkata:
وَكَيْفَ
عَنْهُ مَرْفُوْعٌ
"Kayfa ( bagaimana;
sifat-sifat benda) itu mustahil bagi Allah".
Perkataan al-Imam Malik ini
diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dengan sanad yang kuat. Maksud perkataan
al-Imam Malik ini adalah bahwa Allah maha suci dari al Kayf (sifat makhluk) sama
sekali. Definisi al Kayf adalah segala sesuatu yang merupakan sifat makhluk
seperti duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak dan lain–lain.
الْمَحْدُوْدُ
عِنْدَ عُلَمَاءِ التّوْحِيْدِ مَا لَهُ حَجْمٌ صَغِيْرًا كَانَ أوْ كَبِيْرًا،
وَالْحَدُّ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجْمُ إنْ كَانَ صَغِيْرًا وَإنْ كَانَ كَبِيْرًا،
الذَّرَّةُ مَحْدُوْدَةٌ وَاْلعَرْشُ مَحْدُوْدٌ وَالنُّوْرُ وَالظَّلاَمُ
وَالرِّيْحُ كُلٌّ مَحْدُوْدٌ.
"Menurut ulama tauhid yang
dimaksud dengan al-mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang
memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al-hadd (batasan)
menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang
terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran dan
disebut Mahdud demikian juga arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing
mempunyai ukuran dan disebut Mahdud ".
Penjelasan : Allah berfirman
:
الْحَمْدُ
للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ
(سورة الأنعام : 1)
"Segala puji bagi Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS.
al An'am : 1).
Dalam ayat ini Allah ta'ala
menyebutkan langit dan bumi, keduanya termasuk benda yang dapat dipegang oleh
tangan (Katsif). Allah juga menyebutkan kegelapan dan cahaya, keduanya termasuk
benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan (Lathif). Ini memberikan pemahaman
kepada kita bahwa pada Azal (keberadaan tanpa permulaan) tidak ada sesuatupun
selain Allah, baik itu benda katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa
Allah tidak menyerupai benda lathif maupun benda katsif.
Allah ta'ala menciptakan
alam ini terbagi menjadi dua bagian: benda dan sifat benda. Benda terbagi
menjadi dua: Pertama: benda katsif yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan
seperti pohon, manusia, air dan api. Kedua: Benda Lathif, yaitu benda yang tidak
dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara. Masing-masing
benda memiliki batas, ukuran, dan bentuk, Allah berfirman:
وَكُلُّ
شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ ( سورة الرعد : 8 )
"Segala sesuatu bagi Allah
memiliki ukuran (yang telah ditentukan)" (QS. ar-Ra'd: 8)
Bahwa benda katsif memiliki
ukuran adalah hal yang sudah jelas. Sedangkan mengenai bahwa benda lathif
memiliki ukuran adalah sesuatu yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang
seksama. Cahaya misalnya memiliki tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya,
cahaya matahari menyebar ke areal/jarak yang sangat luas yang diketahui oleh
Allah, ukurannya sangat luas. Sementara cahaya lilin ukurannya sangat kecil.
Cahaya kunang–kunang yang berjalan di rerumputan di malam hari, Allah jadikan
cahayanya sekecil itu. Cahaya yang paling luas adalah cahaya surga. Jadi
masing-masing cahaya tersebut memiliki batas dan ukuran yang membatasinya.
Kegelapan juga memiliki ukuran dan ruang kosong yang diisi olehnya. Kadang
tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang luas. Demikian juga angin memiliki
tempat yang diisi olehnya. Para Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk
menimbangnya dan mengirimkannya sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah. Ada
angin yang dingin, angin yang panas. Ada angin yang Allah kirimkan untuk
menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin yang dikirimkan sebagai rahmat.
Jadi masing-masing angin tersebut memiliki timbangan yang telah ditentukan oleh
Allah. Demikian juga, ruh memiliki ukuran. Ketika ruh berada pada tubuh manusia,
ruh berukuran sama dengan badan orang tersebut dan ketika ruh berpisah,
meninggalkan badan seseorang ia bertempat di udara tanpa menyatu dengan
jasadnya. Kesimpulannya; setiap makhluk pasti memiliki tempat, baik tempat yang
besar maupun yang kecil.
Benda paling kecil yang
diciptakan oleh Allah dan bisa dilihat oleh mata adalah haba'. Haba' adalah
sesuatu yang kecil yang terlihat apabila sinar matahari masuk ke dalam rumah
dari jendela, nampak seperti debu yang kelihatan oleh mata, benda ini disebut
haba'. Memang masih ada lagi benda yang lebih kecil dari haba', yang bahkan
tidak dapat dilihat oleh mata karena sangat kecilnya, walaupun demikian tetap
saja benda tersebut memiliki bentuk yaitu bentuk yang paling kecil yang
diciptakan oleh Allah yang disebut dalam istilah tauhid al-Jawhar al-Fard;
bagian yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Al-Jawhar al-Fard adalah benda yang
paling kecil yang diciptakan oleh Allah, al-Jawhar al-Fard adalah asal bagi
semua benda.
Semua benda ini memilki
batas dan ukuran dan karenanya membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam
ukuran tersebut, dan dengan begitu benda tidak sah menjadi tuhan. Ketuhanan
hanya sah berlaku bagi yang tidak memiliki ukuran sama sekali, yaitu Allah yang
maha suci dari status Mahdud (Allah tidak memiliki batas dan ukuran). Makna
Mahdud di sini tidak hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk kecil saja
akan tetapi sesuatu yang memiliki bentuk yang besar juga disebut
Mahdud.
Sedangkan al-A'radl adalah
sifat benda seperti bergerak, diam, warna, rasa dan lain–lain. Jadi di antara
sifat benda adalah bergerak dan diam, sebagian benda terus-menerus bergerak,
yaitu bintang, bahkan an-Najm al-Quthbi (bintang yang bisa menunjukkan arah
kiblat) sekalipun bergerak, hanya saja gerakannya pelan dan bergerak di
tempatnya. Sebagian benda lagi ada yang terus–menerus diam seperti tujuh langit
yang ada. Sebagian benda lagi kadang diam dan kadang bergerak seperti manusia,
malaikat, jin dan binatang.
Termasuk di antara sifat
benda juga adalah berwarna kadang sesuatu berwarna putih, ada yang berwarna
merah, kuning atau hijau. Matahari juga memiliki sifat, di antara sifatnya
adalah panas. Angin juga memiliki sifat di antara sifatnya adalah dingin, panas,
berhembus dengan kuat atau pelan.
Jadi Allah ta'ala yang
menciptakan alam ini dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, maka Dia tidak
menyerupainya, dari satu segi maupun semua segi. Allah ta'ala tidak menyerupai
benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak bersifat dengan sifat–sifat
benda, Allah tidak menyerupai satupun dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya,
oleh karena itu Ahlussunnah mengatakan:
اللهُ
مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ
"Allah ada tanpa tempat dan
tanpa arah".
Allah menjadikan arah atas
sebagai tempat bagi arsy dan para Malaikat yang mengelilinginya dan juga sebagai
tempat bagi al-Lauh al-Mahfuzh dan lain-lain. Allah menjadikan manusia,
binatang, serangga dan lain-lain bertempat di arah bawah. Jadi Dzat yang
menciptakan sebagian makhluk bertempat di arah arsy dan sebagian yang lain di
arah bawah mustahil bagi-Nya memiliki arah. Karena seandainya dikatakan dia
berada di salah satu arah atau bertempat di semua arah niscaya akan ada banyak
serupa bagi-Nya, padahal Allah telah berfirman:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )
"Tidak ada satupun yang
menyerupai-Nya". Inilah aqidah yang diyakini oleh semua kaum muslimin di
negara-negara muslim; Indonesia, Mesir, Irak, Turki, Maroko, AlJazair, Tunisia,
Yaman, Somalia dan daratan Syam, mereka semua dan yang lain di negara-negara
lain semua mengajarkan keyakinan ini.
Sedangkan orang yang
meyakini bahwa Allah adalah benda yang sama besarnya dengan arsy, memenuhi arsy
atau separuh dari arsy atau meyakini bahwa Allah lebih besar dari arsy dari
segala arah kecuali arah bawah atau bahwa Allah adalah cahaya yang bersinar
gemerlapan atau bahwa Allah adalah benda yang besar dan tidak berpenghabisan
atau berbentuk seorang yang muda atau remaja atau orang tua yang beruban, maka
semua orang ini tidak mengenal Allah. Mereka tidak menyembah Allah, meskipun
mereka mengira diri mereka muslim. Mereka bukanlah orang yang menyembah
(beribadah) Allah, yang mereka sembah adalah sesuatu yang mereka bayangkan dan
gambarkan dalam diri mereka, sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Musibah mereka
yang paling besar adalah bahwa mereka tidak memahami adanya sesuatu yang bukan
benda. Oleh karena itu mereka –dengan segenap upaya- berusaha menjadikan Allah
benda yang bersifat dengan sifat-sifat benda pula, lalu bagaimana bisa mereka
mengaku mengenal dan memahami firman Allah: Laysa Ka Mitsli Syai’ (QS.
Asy-Syura: 11) dan beriman kepadanya?!! Seandainya mereka benar-benar mengetahui
ayat tersebut dan beriman dengannya niscaya mereka tidak akan menjadikan Allah
sebagai benda, karena alam ini seluruhnya adalah benda dan sifat-sifat yang ada
padanya.
Seandainya terjadi
perdebatan antara orang-orang Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya) seperti orang Wahhabi -yang meyakini bahwa Allah adalah
benda, yang memiliki ukuran- dengan orang yang menyembah matahari. Orang Wahhabi
akan mengatakan kepada penyembah matahari: Anda, wahai penyembah matahari,
matahari yang engkau sembah ini tidak berhak untuk menjadi tuhan. Penyembah
matahari akan menjawab dan berkata kepada orang Wahhabi: bagaimana mungkin
matahari tidak berhak untuk disembah, padahal bentuknya indah, manfaatnya sangat
besar, anda bisa melihatnya dan saya juga melihatnya dan semua orang melihatnya,
semua orang mengetahui dengan baik manfaatnya. Bagaimana mungkin agama saya
batil dan agamamu benar, sementara anda menyembah sesuatu yang anda bayangkan
dalam diri anda, anda tidak melihatnya dan kami juga tidak melihatnya, anda
mengatakan tuhan anda adalah bentuk yang besar yang duduk di atas arsy
?!!.
Orang Wahhabi tidak akan
memiliki dalil 'aqli (argumen rasional), seandainya orang Wahhabi mengatakan :
al Qur'an telah menegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam, Dia-lah yang berhak
untuk disembah, tidak ada sesuatu selain-Nya yang berhak untuk disembah. Maka
orang yang menyembah matahari tersebut akan mengatakan kepadanya: Saya tidak
beriman dengan kitab suci anda, berikan kepada saya dalil 'aqli bahwa matahari
tidak berhak untuk dijadikan tuhan yang disembah dan bahwa apa yang anda sembah
yang anda bayangkan (dalam benak anda) itu berhak untuk disembah! Maka orang
Wahabi akan terdiam dan membisu.
Sedangkan kita, Ahlussunnah
memiliki jawaban yang rasional. Kita akan mengatakan kepada penyembah matahari :
matahari yang anda sembah, yang mempunyai ukuran tertentu dan bentuk tertentu,
pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran dan bentuk tersebut.
Sedangkan tuhan kami, Ia adalah sesuatu yang ada tetapi tidak menyerupai segala
sesuatu yang ada, tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, Dia tidak
memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk, tidak memiliki arah, tidak memilki
tempat dan tidak memiliki permulaan. Inilah Dzat yang ada, yang kami sembah yang
dinamakan Allah. Dialah yang berhak untuk disembah. Dia yang menciptakan
matahari yang anda sembah, manusia dan segala sesuatu yang lain.
Seorang Sunni; penganut
akidah Ahlussunnah ketika mengeluarkan hujjah 'aqli ini tanpa mengatakan: Allah
ta'ala berfirman demikian, telah mampu mengalahkan orang kafir yang menyembah
matahari tersebut. Maka segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita
petunjuk kepada keyakinan yang benar ini, kita tidak akan menemukan kebenaran
dan petunjuk semacam ini seandainya tidak karena mendapat petunjuk Allah.
Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:
مَنْ
زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه
أبُو نُعَيم)
"Barang siapa beranggapan
(berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang
wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430
H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).
Penjelasan : Maksud dari perkataan
sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa
Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal
Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti
arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan
Allah mahdud (memiliki ukuran), padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau
kecil) pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut,
sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi
tuhan.
Dengan demikian dalam
perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang jelas bahwa Allah maha suci dari
hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat
duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia
tidak mengenal Allah, dan barangsiapa berkeyakinan demikian terhadap Allah maka
sesungguhnya ia seorang kafir yang rusak akidahnya.
Haba' memiliki ukuran,
semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit
memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan
memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran
tersebut.
Jadi, setiap sesuatu yang
memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan (kepada selainnya)
dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi
yang tidak memiliki bentuk dan ukuran; yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan
kepada seluruh alam, Dialah yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran. Al-Imam
al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:
لاَ
تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ
“Tidak sah ibadah (seorang
hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Artinya barangsiapa yang
tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak
berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk
ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Al-Imam Abu Ja'far
ath-Thahawi ( 227-321 H) berkata:
تَعَالَـى
(يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ
وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ
"Maha suci Allah dari
batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama
sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan
dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah,
hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah
penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya
yang diliputi enam arah penjuru tersebut".
Penjelasan : Al-Imam ath-Thahawi
adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk
dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
:
خَيْرُ
الْقُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
)رَوَاهُ التّرمِذِي(
"Sebaik–baik abad adalah
abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya" (HR.
at-Tirmidzi)
Al-Imam ath-Thahawi
menyebutkan perkataannya tersebut dalam kitab penjelasan aqidah Ahlussunnah wal
Jama'ah, yang kitab ini telah dianggap baik dan diterima oleh seluruh ummat
Islam dari generasi ke generasi.
Makna
dari “Ta'ala” adalah bahwa Allah maha suci
Maksud perkataan
ath-Thahawi bahwa Allah maha suci dari ”Hudud” adalah bahwa Allah maha suci dari
Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda
pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa
benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya
akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta'ala telah berfirman:
فَلاَ
تَضْرِبُوْا لِلّهِ الأمْثَالَ (سورة النحل : 74)
"Janganlah kalian membuat
serupa-serupa bagi Allah"(QS. an-Nahl: 74)
Dengan demikian barangsiapa
mengatakan bahwa Allah memiliki hadd yang hadd tersebut tidak ketahui oleh kita,
hanya Allah saja yang mengetahuinya maka sungguh orang ini adalah seorang yang
kafir, karena dengan demikian dia telah menetapkan Allah sebagai benda yang
memiliki bentuk dan ukuran. Maksud perkataan ath-Thahawi ”La Tahwihi al-Jihat
as-Sittu...” bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah
karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah
atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang. Maksud perkataan ath-Thahawi ”Ka
Sa-ir al-Mubtada’at” adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan
Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah
tidak bisa digambaarkan dalam hati dan benak manusia. al-Imam Ahmad ibn Hanbal
mengatakan:
مَهْمَا
تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ (روَاه أبُو الفَضْلِ
التَّمِيْمِيُّ)
"Apapun yang terlintas
dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu". (Diriwayatkan
oleh Abu al Fadll at-Tamimi).
Jika ada pertanyaan:
Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak
bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)? Jawab: Bahwa di antara makhluk
ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini
adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada
satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu
waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya?! Meski
demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu
tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah berfirman:
وَجَعَلَ
الظُّلُمَاتِ وَالنّوْرَ (سورةالأنعام : 1)
"...dan Dia yang telah
menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. Al-An'am: 1). Artinya bahwa Allah yang
telah menciptakan kegelapan dan cahaya dari yang sebelumnya tidak ada. Jika
demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan
percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang Dzat-Nya: Laysa Kamitslihi Syai’
(QS. Asy-Syura: 11), maka Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi
oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan
arah. Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:
وَمَنْ
وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرْ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa menyifati
Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.
Penjelasan : Barangsiapa menyifati
Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Sifat–sifat manusia
banyak sekali. Sifat yang paling nyata adalah baharu, yakni ”ada setelah
sebelumnya tidak ada”. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah,
berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi'al
(merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang
nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah,
naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek,
bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang
baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan
jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati
Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir. Al-Imam
Ahmad ar-Rifa'i (W 578 H) dalam al-Burhan al-Mu-ayyad berkata:
صُوْنُوْا
عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ الْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ الْكُفْرِ
“Hindarkan aqidah kamu
sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang
mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran”.
Penjelasan : Al-Imam ar-Rifa'i hidup
pada abad ke enam hijriyyah, beliau adalah seorang ahli hadits, ahli tafsir,
pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam rumusan aqidah dan pengikut
madzhab Syafi'i dalam fiqih. Beliau adalah orang paling mulia dan paling alim di
masanya. Beliau sangat menekankan tanzih (mensucikan Allah ta'ala dari
menyerupai makhluk). Di antara perkataan beliau dalam masalah tanzih adalah
perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab al-Burhan al-Muayyad tersebut. Maksud
perkataan beliau adalah bahwa orang yang mengambil zhahir sebagian ayat al
Qur'an dan hadits Nabi, yang memberikan persangkaan bahwa Allah adalah benda
yang bersemayam di atas arsy atau bahwa Allah berada di arah bumi atau bahwa
Allah mempunyai anggota badan, bergerak dan yang semacamnya maka orang tersebut
telah kafir. Seperti orang yang menafsirkan ayat:
الرّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
dengan duduk maka orang
tersebut telah kafir. Karena mengatakan duduk bagi Allah adalah cacian
terhadap-Nya sebab duduk adalah sifat malaikat, Jin, manusia, anjing, babi dan
monyet. Makna ayat tersebut yang benar adalah bahwa Allah maha menguasai arsy.
Makna ini layak bagi Allah karena Allah telah menamakan Dzat-Nya:
اللهُ
الْوَاحِدُ الْقَهَّار (يوسف: 39)
”Allah maha esa lagi maha
berkuasa”. Oleh karena itu orang-orang Islam biasa menamakan anak mereka dengan
Abdul Qahir atau Abdul Qahhar, tidak ada seorangpun yang menamakan anaknya Abdul
Jalis atau Abdul Qa'id. Demikian pula orang yang mengatakan bahwa Allah berada
di atas arsy dengan ada jarak antara Allah dengan arsy, artinya tanpa
menyentuhnya maka tetap saja dia seorang yang kafir. Karena setiap sesuatu yang
berada di atas sesuatu yang lain pasti berkemungkinan berukuran sama dengan
sesuatu tersebut atau lebih besar atau lebih kecil. Dan segala sesuatu yang
menerima ukuran maka dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada yang
menjadikannya dalam ukuran tersebut.
Adapun pernyataan sebagian
kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyah sekarang bahwa Allah berada di atas
arsy yang di atas arsy tersebut tidak ada tempat pernyataan ini terbantahkan
dengan hadits riwayat al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya bahwa Rasulullah
bersabda:
إنّ
اللهَ لَمَا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ
العَرْشِ إنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ
"Sesungguhnya Allah ketika
menciptakan makhluk menciptakan kitab (tulisan) yang terletak di atas arsy dan
dimuliakan oleh Allah yang berbunyi sesungguhnya (tanda-tanda) rahmat-Ku lebih
banyak dari (tanda-tanda) murka-Ku" (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya).
Dan dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi:
وَهُوَ
مَرْفُوْعٌ فَوْقَ الْعَرْشِ
"Dan dia arsy terangkat
(diletakan) di atas arsy".
Dengan demikian hadits ini
adalah dalil bahwa di atas arsy terdapat tempat. Karena bila di atas arsy tidak
ada tempat maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan bahwas kitab tersebut
diletakkan di atasnya. Adapun kata “’Indahu” dalam hadits tersebut adalah dalam
makna “dimuliakan”, karena penggunaan kata “’Inda” mengandung makna untuk
memuliakan, sebagaimana firman Allah tentang orang-orang yang saleh:
وَإنّهُمْ
عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ (ص: 47)
Kata “’Indana…” dalam ayat
ini artinya untuk memuliakan bukan untuk menyatakan bahwa Allah berada pada
tempat yang bertetanggaan atau bersampingan dengan tempat orang-orang saleh
tersebut. Dengan demikian dalam keyakinan kaum Musyabbihah yang menetapkan Allah
bertempat di atas arsy telah menjadikan kitab tersebut di atas sebagai
keserupaan bagi-Nya. Ini artinya sama saja mereka telah mendustakan firman
Allah: “Laysa Kamitslihi Syai’ (Qs. Asy-Syura: 11). Demikian juga orang yang
memahami firman Allah:
إِنَّ
رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الآعراف: 54)
dengan menafsirkan bahwa
Allah berada pada arah bawah atau arah bumi kemudian naik ke arah atas lalu
menciptakan langit, kemudian Dia naik ke arsy lalu bersemayam (bertempat) maka
orang ini telah menjadi kafir. Makna ayat yang benar adalah bahwa Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dan bahwa Allah sebelum menciptakannya telah
menguasai arsy. Kata “tsumma” artinya dalam makna ”wa”; maknanya “dan”. Al-Imam
Abu Manshur al-Maturidi berkata: Firman Allah:
ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
artinya adalah " sungguh
Allah telah menguasai arsy " .
Begitu pula orang yang
menafsirkan firman Allah:
فَأَيْنَمَا
تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)
diartikan dengan anggota
tubuh atau bahwa Dia berada pada arah bumi maka dia seorang yang kafir. Makna
yang benar; Wajhullah adalah Kiblat Allah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam
Mujahid; murid dari sahabat Abdullah ibn Abbas.
Demikian pula orang yang
memahami firman Allah:
كُلُّ
شَيءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَهْ (القصص: 88)
dengan mengartikan bahwa
alam ini adalah sesuatu maka ia akan punah, begitu pula Allah adalah sesuatu
maka Dia akan punah, dan tidak ada sesuatu yang kekal dari Allah kecuali bagian
wajah saja maka orang ini dihukumi kafir. Pemahaman buruk seperti ini
sebagaimana penafsiran seorang Musyabbih yang bernama Bayan ibn Sam'an
at-Tamimi. Adapun makna yang benar dari kata ”Wajhahu..” di atas adalah dalam
makna ”kerajaan”, atau dalam makna ”sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada
Allah” sebagaimana takwil ini telah dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari dan
al-Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian juga orang
menafsirkan firman Allah tentang perahu Nabi Nuh:
تَجْرِيْ
بأعْيُنِنَا (القمر: 14)
dengan anggota tubuh (mata)
maka orang tersebut telah kafir. Adapun makna yang benar adalah ”memelihara”,
artinya bahwa perahu Nabi Nuh tersebut berjalan dengan ”pemeliharan” dan
”penjagaan” dari Allah sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh para ahli
tafsir.
Demikian pula orang yang
memahami firman Allah:
يَدُ
اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
dalam pengertian anggota
tubuh maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar kata ”yad” di sini
adalah ”al-’ahd”; artinya ”janji” sebagaimana telah ditafsirkan oleh para
ulama.
Demikian pula orang yang
menafsirkan firman Allah:
وَجَاءَ
رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر: 22)
dalam makna bahwa Allah
bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain maka orang tersebut
telah kafir. Makna yang benar adalah ”datang kekuasaan Allah”, artinya tanda
atau pengaruh dari sifat kuasa-Nya, sebagaimana demikian telah ditafsirkan oleh
al-Imam Ahmad ibn Hanbal (sebagaimana telah diriwayatkan oleh al-Hafidz
al-Baihaqi dengan sanad yang kuat dari al-Imam Ahmad).
Demikian juga dengan orang
yang menafsirkan firman Allah:
أأمِنْتُمْ
مَنْ فِي السّمَاءِ أنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ (الملك: 16)
dengan mengatakan bahwa
Allah mengambil tempat dilangit maka orang tersebut telah kafir. Makna yang
benar dari maksud ”man fi as-sama’” adalah ”Malaikat”, sebagaimana pemahaman ini
telah dinyatakan oleh Syaikh al-Huffadz al-Imam Zainuddin Abdrrahim al-Iraqi
dalam kitab al-Amaliy al-Mishriyah. Dalam menafsirkan hadits:
ارْحَمُوْا
مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
”Sayangilah oleh kalian
orang yang berada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang berada di
langit”, al-Imam al-’Iraqi menafsirkannya dengan hadits riwayat lain dengan
redaksi:
ارْحَمُوْا
أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ السّمَاءِ
"Sayangilah oleh kalian
penduduk bumi niscaya kalian akan disayangi oleh penduduk langit", karena hadits
yang kedua ini sangat jelas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud adalah para
Malaikat.
Demikian juga orang yang
menafsirkan hadits al-Jariyah as-Sauda yang terdapat dalam riwayat al-Imam
Muslim dengan berkesimpulan bahwa Allah mengambil tempat di arah atas (berada di
langit) maka orang ini telah kafir. Hadits ini oleh sebagian ulama tidak diambil
dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah mutharib (hadits yang memiliki banyak
redaksi yang satu sama lainnya berbeda-beda), karenanya mereka manganggapnya
cacat, disamping karena telah menyalahi dasar keyakinan. Sesungguhnya Rasulullah
tidak pernah menghukumi ke-islam-an seseorang hanya karena mengatakan ”Allah di
langit”, karena kata-kata ini adalah keyakinan orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Bagaimana mungkin kata-kata ”Allah di langit” sebagai tanda bagi keimanan
seseorang?!
Sebagian ulama lainnya
menerima hadits ini; namun tidak dipahami dalam makna zhahirnya, tetapi mereka
mentakwilkannya. Bahwa pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan tersebut
adalah dalam makna ”Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”. Dan makna jawaban
budak tersebut ”Fi as-Sama’” adalah dalam pengertian ”sangat tinggi
derajat-Nya”. Maka berdasarkan pemahaman dua pendapat ulama tersebut di atas
tidak ada jalan bagi orang-orang Wahhabi untuk membatah kita.
Begitu juga dengan orang
yang menafsirkan hadits Nabi:
يَنْـزِلُ
رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السّمَاءِ الدُّنْيَا حِِيْنَ
يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ يَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِي فأسْتَجِيْبَ لَهُ منْ
يَسْألُنِيْ فأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
dengan menafsirkan bahwa
Allah bergerak dan turun dari atas ke langit dunia dan berdiam di sana sampai
terbit fajar kemudian setelah itu Dia naik ke arah arsy maka orang tersebut
telah menjadi kafir. Yang sangat mengherankan dari kaum Musyabbihah, seperti
kaum Wahhabiyyah sekarang, mereka meyakini bahwa Allah sama besar dengan arsy,
lalu mereka mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia, padahal mereka tahu
bahwa besarnya langit dunia dibanding besarnya arsy seperti setetes air
dibanding lautan luas, ini artinya dalam keyakinan mereka bahwa Allah ketika
turun ke langit dunia menjadi sangat kecil, na’udzu Billah. Ini merupakan bukti
nyata akan kebodohan akal mereka. Lalu dengan pemahaman tersebut mereka juga
berarti menetapkan bahwa perbuatan Allah hanya turun dan naik saja agar
bersesesuaian dengan masing-masing sepertiga akhir malam di setiap bagian bumi
ini oleh karena sepertiga akhir malam itu berbeda–beda satu wilayah dengan
lainnya. Ini juga merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka.
Makna yangbenar dari hadits
tersebut adalah bahwa Malaikat turun dengan perintah Allah ke langit dunia,
hingga ketika datang sepertiga akhir malam maka mereka menyeru bagi penduduk
bumi sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah sehingga terbit fajar:
“Sesungguhnya Tuhan kalian berkata: Barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan
Aku beri ia, barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan baginya,
barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni ia”. Pemahaman ini
sebagaimana terdapat dalam riwayat al-Imam an-Nasa-i dengan riwayat shahih bahwa
Rasulullah bersabda:
إنَّ
اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوَّلُ فَيأْمُرُ مُنَادِيًا
فَيُنَادِيْ ....
“Sesungguhnya Allah
membiarkan malam berlalu hingga lewat separuh malam pertama, setelah itu lalu
Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menyeru (bagi penduduk bumi), maka ia
berseru:…..”.
Kemudian dari pada itu
sebagian para perawi al-Imam Bukhari telah memberi harakat “Dlammah” pada kata
“Yanzilu..” menjadi “Yunzilu…”, dengan demikian maknanya semakin jelas bahwa
yang turun ke langit dunia tersebut adalah adalah malaikat; dengan perintah
Allah. Kesimpulannya, siapapun yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,
walaupun hanya dengan satu sifat saja, maka dia digolongkan sebagai Musyabbih
Mujassim, dan sesuangguhnya seorang Mujassim itu seorang yang kafir sebagaimana
dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Adapun makna perkataan
al-Imam ar-Rifa’i tersebut di atas adalah bahwa berpegangteguh dengan
makna-makna zhahir dari teks-teks mutasyabihat, baik yang terdapat dalam
al-Qur’an maupun hadits, maka hal itu telah menjatuhkan banyak orang dalam
kekufuran, karena hal itu telah menjatuhkan mereka dalam keyakinan tasybih.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i juga berkata:
غَايَةُ
الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ
مَكَانٍ
“Puncak pengetahuan
seseorang itu kepada Allah adalah dengan berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa
sifat benda dan tanpa tempat“.
Maksudnya adalah bahwa
puncak yang dapat diraih oleh seorang hamba untuk mengenal Allah adalah meyakini
keberadaan-Nya tanpa mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda, dan meyakini bahwa
Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesungguhnya ini inilah puncak
pengetahuan (ma’rifah) kepada Allah dari para Nabi dan para Malaikat, serta para
wali Allah. Karena mengenal (ma’rifah Allah) Allah bukan dengan cara
membayangkan, bukan dengan cara memprakirakan, dan juga bukan dengan cara
menyerupakan-Nya. Allah bukan benda dan Allah juga tidak dapat diperumpamakan
oleh gambaran dan pikiran manusia. Sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka
pasti bisa digambarkan oleh akal pikiran, sementara Allah bukan benda yang
memiliki bentuk dan ukuran maka Dia tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran
manusia. Mengenal Allah cukup dengan meyakini-Nya bahwa Dia Maha ada, tidak
dengan membayangkan-Nya berada pada arah tertentu; seperti arah atas.
Jika orang Wahabiy
mengatakan: “Sesuatu yang ada itu harus memiliki arah dan tempat, bagaimana
kalian mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat?!”, kita katakan
kepadanya bahwa jika Allah memiliki arah dan tempat niscaya Dia akan mempunyai
banyak keserupaan, juga jika Dia memiliki arah maka berarti ada yang
menjadikan-Nya pada arah tersebut, padahal setiap yang ”dijadikan” itu pastilah
dia itu makhluk, bukan Tuhan. Demikian inilah makna yang dimaksud dari perkataan
al-Imam Ahmad ar-Rifa’i di atas, dan beliau adalah seorang yang sangat mendalam
dalam ilmu akidah, beliau telah mengungkapkan perkataannya tersebut dalam kitab
“Halatu Ahl al-Haqiqah Ma’a Allah “ . Sebagian ulama berkata:
عَلَيْكَ
بِطُوْلِ الصَّمْتِ يَا صَاحِبَ الْحِجَا لِتَسْلَمَ فِي الدُّنْيَا وَيَوْم
القِبَامَة
“Hendaklah anda
memperpanjang diam wahai orang yang punya akal, agar selamat di dunia dan
akhirat / kiamat.”
Perkataan ini diambil dari
sabda Rasulullah kepada Abu Dzar:
عَلَيْكَ
بِطُوْلِ الصَّمْتِ إلاّ مِنْ خَيْرٍ فَإنّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشّيْطَانِ عَنْكَ
وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أمْرِ دِيْنِكَ (رواه ابن حبان)
“Hendaklah kamu
memperpanjang diam kecuali kepada hal yang baik, karena demikian itu dapat
megalahkan syaitan dan menolong kamu dalam urusan agamamu “ (HR. Ibnu
Hibban).
Seorang yang memiliki akal
cerdas adalah orang yang selalu menghadirkan makna firman Allah:
مَا
يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ (ق: 18)
“Tidaklah seseorang itu
berucap dari sebuah perkataan kecuali dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid“ (QS.
Qaf: 18). Dia tidak akan berkata-kata kecuali bila ada manfaatnya. Wa
Allah A’lam Bi Ash-Shawab, Wa Ilaih at-Tuklan Wa al-Ma’ab.
Komentar
Posting Komentar